Ada Skenario Besar di Balik Munculnya Nama Hatta Ali

oleh -574 views
oleh

JAKARTA, IN– Nama Prof. Dr. H. Hatta Ali, S.H., Mhum beberapa hari terakhir makin moncer. Ini lantaran mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) itu disebut dalam dakwaan Jaksa Pinangki Sirna Malasari.

Tapi buru-buru  kabar tak sedap itu pun terkikis dengan sendirinya. Muncul kesan ada skenario besar yang dibuat. Motif menjatuhkan ini pun, didapat dari klarifikasi yang diutarakan Pinangki.

Lalu siapa pemainnya? Dan apa sebenarnya tujuannya? Belum selesai dua pertanyaan ini terjawab, buru-buru Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang tengah terlilit dalam kasus Djoko Tjandra pun membantah.

Bantahan ini pun sejalan dengan, pernyataan Pinangki melalu surat eksepsi yang dibacakan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

”Penyebutan nama pihak-pihak tersebut bukanlah atas pernyataan terdakwa dalam proses penyidikan,” kata pengacara Pinangki, Jefri Moses membacakan eksepsi, Rabu (30/9).

Sebelum masuk lebih dalam isi dari eksepsi yang diutarakan Pinangki, mungkin publik belum mengetahui secara detail tentang siapa itu Hatta Ali.

Dari beberapa sumber yang digali Siberindo.co, Hatta Ali memang dikenal sebagai sosok yang tegas dan pemberani. Luwes, cermat dan tak bertele-tele dalam sisi apapun.

Ia pensiun menjadi Ketua Mahkamah Agung (MA), pada 7 April 2020 karena telah berusia 70 tahun. Dan secara admistrasi purna bhaktinya jatuh pada 1 Mei 2020.

Selama mengabdi 42 tahun di lembaga peradilan, pria kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan 7 April 1950 ini pernah menimba ilmu di Universitas Padjajaran, Bandung, Universitas Airlangga, Surabaya dan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Karier di dunia hukum digelutinya sejak 1978. Tepatnya sejak menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementerian Hukum dan HAM yang dulu bernama Departemen Kehakiman.

Setelah 12 tahun berkarier, dia pertama kalinya menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Bitung pada 1966.
Sebelumnya, Hatta Ali juga pernah menjadi calon Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 1982, dilanjut menjadi Hakim Pengadilan Negeri Sabang, 1984.

Sosoknya yang cukup kuat, dan wawasannya yang semakin luas di dunia hukum, membawanya kemudian menjadi Hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, 1990 dan menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Gorontalo pada 1995.

KARIER

  • Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara (1998-2000)
  • Ketua Pengadilan Negeri Manado (2000-2001)
  • Ketua Pengadilan Negeri Tangerang (2001-2003)
  • Hakim Tinggi Denpasar (2003-2004)
  • Hakim Tinggi /Sekretaris KMA (2004-2005)
  • Hakim Tinggi /Dirjen Badilum 131/M Th.2005 (2005-2007)
  • Hakim Agung (2007-2009)
  • Ketua Muda Pengawasan MA (2009-2012)
  • Ketua Mahkamah Agung RI (2012-2017)
Baca Juga :  Catatan SMSI Jelang 2024: Soal Media , Jokowi Masih Adil

Boleh dibilang, Hatta Ali melangkah mulus saat duduk sebagai Ketua MA. Kala itu ia mengantikan Harifin A. Tumpa. Tepatnya Rabu (8/2/2012).

Ia mendapat dukungan 28 dari 54 pemilik suara dalam pemilihan yang berlangsung siang hari.
Terpilihnya Hatta Ali sebagai pengganti Tumpa tak terlalu mengejutkan. Pasalnya, dia merupakan salah satu calon kuat dari sembilan calon yang ada.
Dua pesaing kuatnya adalah Wakil Ketua Yudisial Bidang Noyudisial Ahmad Kamil dan Ketua Muda Perdata Khusus Mohammad Saleh.

Saat itu, Ahmad Kamil mendapat 15 suara. Sementara tiga hakim agung lain yang masuk bursa adalah Abdul Kadir Mappong dengan empat suara, Mohammad Saleh mendapat tiga suara, dan Paulus Lotulung hanya disumbang satu suara. Jumlah surat suara yang tidak sah berjumlah tiga suara.

Pria asal Makasar itu akan menggantikan peran Tumpa persis pada 1 Maret 2012. Tumpa akan pensiun akhir bulan ini, sementara Ali sendiri pensiun pada 7 April 2020.

Ia memulai karier Hakim Agung pada 20 Agustus 2007. Sebelum akhirnya menduduki posisi tertinggi di MA, ia pernah menjabat sebagai Ketua Muda Pengawasan MA, Direktur Jenderal Peradilan Umum MA, Sekretaris Ketua MA, dan Ketua Pengadilan Negeri Tangerang.

Hatta Ali adalah satu dari segelintir hakim yang tergolong berani.
Pada 13 Januari 2003 lalu, contohnya, ia berani menjatuhkan vonis mati untuk pemilik pabrik ekstasi di Tangerang, Anng Kim Soei.

Urusan pelanggaran narkotik, ia tidak kenal ampun. Tahun ini, tepatnya 9 Januari lalu, ia dengan tegas menolak kasasi yang diajukan Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung dan malah menguatkan vonis tersebut.

Namun, Hatta Ali juga sempat mendapat tudingan miring, karena telah mengintervensi perkara pailit perusahaan PT Sido Plastic Factory Surabaya, sehingga perusahaan itu menang di Pengadilan Negeri Surabaya.

Akibatnya, ia didemo Jaringan Kerja Rakyat, dan Badan Pekerja Advokasi Buruh di perusanaan itu pada 19 Januari lalu.

Intervensi dari berbagai pihak tentu dirasakannya. Kepentingan pengusaha yang dibawa dalam ranah politik, jelas begitu mempengaruhi kehidupan dan independensinya sebagai pemegang palu keadilan.

Lalu berapa sebenarnya kekayaan pria yang satu ini jika dibandingka Pinangki yang mendapatkan gelontoran dari Djoko Tjandra. Dari catatan yang didapat, harta kekayaan Hatta Ali ternyata tak lebih dari Rp3 miliar.

Itu pun mayoritas dari warisan, hingga jerih payahnya pengabdiannya.

Baca Juga :  Peresmian Infrastruktur Kabupaten OKU APBD Provinsi Sumsel

KISARAN HARTA :

Harta tak bergerak (tanah dan bangunan) : Rp 1.191.800.000

  •  Tanah 262 m2 di Kota Bitung dari hibah tahun 1999
  • Tanah dan bangunan seluas 200 m2 dan 100 m2 di Kota Makassar dari warisan perolehan tahun 1997 sampai 1999
  • Tanah dan bangunan seluas 240 m2 dan 238 m2 di Tangerang hasil sendiri dan warisan perolehan tahun 2003.

Harta Bergerak

Alat Transportasi dan mesin lainnya: Rp 425 juta

  • Mobil Honda CR-V 2008
  • Mobil Toyota Kijang Innova 2008
  • Motor Jetwin 2004

Harta Bergerak Lain: Rp 330 juta

  • Logam mulia hasil sendiri
  • Logam mulia warisan
  • Batu mulia hasil sendiri
  • Batu mulia warisan

Giro dan Setara Kas Lainnya: Rp 782.581.791

Total kekayaan: Rp 2,729.381.793

Muncul dalam Kesaksian Pinangki
Pengacara Pinangki, Jefri Moses Jefri mengaku ada pihak yang sengaja ingin mempersalahkan kliennya atas munculnya nama-nama tersebut.
Seolah nama-nama itu muncul atas kesaksian Pinangki.

”Terdakwa sejak awal dalam penyidikan menyampaikan tidak mau menimbulkan fitnah,” kata dia.

Jefri mengatakan Pinangki hanya mengenal Hatta Ali sebagai mantan Ketua MA. Sedangkan, Burhanuddin hanya dikenalnya sebagai atasan di Kejaksaan Agung.

”Namun tidak kenal dan tidak pernah berkomunikasi dengan beliau,” kata dia.

Keterangan Jaksa
Sebelumnya, nama Burhanuddin dan Hatta Ali muncul dalam surat dakwaan jaksa. Kedua nama pejabat itu muncul dalam action plan yang disodorkan Pinangki ke Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa bebas.

Ada sepuluh tahapan dalam rencana yang dibuat Pinangki itu, termasuk aktifitas surat menyurat antara Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Hatta Ali.

Jaksa menyebut action plan itu dibanderol seharga US$ 100 juta. Djoko menolak harga yang ditawarkan Pinangki. Ia hanya menyetujui US$ 10 juta. Sebagai uang muka, Djoko Tjandra kemudian menyerahkan US$ 500 ribu kepada Pinangki.

”Terdakwa dan Andi Irfan Jaya, menyerahkan dan memberikan penjelasan mengenai rencana berupa action plan yang akan diajukan kepada Djoko Tjandra,” kata jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (23/9).

Penyerahan proposal itu dilakukan pada pertemuan di Malaysia pada 25 November 2019.

Dalam proposal yang diajukan itu, tercantum 10 aksi, yang akan dilakukan dalam pengurusan fatwa MA untuk Djoko.

Proposal ini dibanderol US$ 100 juta, namun belakangan Djoko hanya menyanggupi US$ 10 juta.

Aksi pertama yang disusun Pinangki dan kawan kawan adalah penandatanganan Akta Jual Beli pada 13 Februari hingga 23 Februari 2020, Akta ini akan dipakai sebagai kamuflase pembayaran uang dari Djoko.

Baca Juga :  “Peringatan Haul 100 Tahun H. M. Soeharto” Pesan dan Jasanya yang Selalu Diingat Umat Islam

Aksi Kedua, pengiriman surat dari pengacara kepada Burhanuddin berisi permohonan fatwa MA, Tahap ini direncanakan dilakukan pada 24 hingga 25 Februari 2020.

Aksi ketiga, Burhanuddin mengirimkan surat kepada Hatta Ali yang ketika itu masih menjabat Ketua MA, Aksi ketiga direncanakan dilakukan pada 26 Februari hingga 1 Maret 2020.

Aksi keempat adalah pembayaran 25 persen komitmen fee kepada Pinangki sebayak US$ 250 ribu yang akan dilaksanakan pada 1 hingga 5 Maret 2020.

Aksi kelima, Hatta Ali menjawab surat permohonan dari Jaksa Agung mengenai permintaan fatwa, Tahap ini direncanakan terlaksana pada 6 sampai 16 Maret 2020.

Tahap ketujuh, Burhanuddin menerbitkan isntruksi terkait surat dari Hatta Ali.

”Yang dimaksudkan oleh terdakwa adalah Kejaksaan Agung menginstruksikan pada bawahannya untuk melaksanakan fatwa MA,” kata Jaksa.

Tahap kedelapan, Djoko membayar US$ 10 juta melalui Security Deposit Box pada Maret hingga April 2020.

Tahap kesembilan, Djoko Tjandra kembali ke Indonesia pada Mei 2020.
Tahap terakhir adalah pembayaran sisa jasa konsultan kepada Pinangki sebesar US$ 250 ribu.
Jaksa mengatakan pada akhirnya rencana ini dibatalkan oleh Djoko Tjandra. Sebab, hingga Desember tak ada satupun rencana itu yang sudah terlaksana.

Luruskan Penafsiran
Hatta Ali, telah menulis surat terbuka sebagaimana beredar dalam rilis berita SMSI (Serikat Media Siber Indonesia) Pusat, Kamis (24/9).
Inilah Isi Surat terbuka yang disampaika

Dari ringkasan kronologi dan pernyataan dari berbagai pihak, Ketua Umum SMSI Pusat Firdaus menyebut apa yang digambarkan dalam proses hukum yang telah memperlihatkan titik terang. Meskipun semua dikembalikan pada ranah hukum sebagai pijakan.

”Jika dikaitakan ada pihak yang menggerakan dan mencoba memunculkan nama-nama itu (Hatta Ali, Red). Media sebagai perangkum informasi, tentu juga diharapkan memberikan keseimbangan berita dari informasi yang ada. Maka pentingnya klarifikasi dan tidak men-justifikasi lebih dulu, sebelum ada ketuk palu majelis.” jelasnya kepada Siberindo.co.

 

(alt="") Ada skenario

Ditambahkan Firdaus, publik bisa membaca secara detail dari uraian Jaksa Pinangki, pemaparan jaksa dan penjelasan dari Hatta Ali, yang diklarifikasi dalam surat terbuka.

”Tentu ini harus kita hormati. Dan semua tentu berharap, kebenaran akan berpihak pada kebenaran, itu yang selalu kita gaungkan dan praktikan.” tutur Firdaus. (oke/sep)