PENDAHULUAN
Pasca UU Tipikor diberlakukan, terdapat berbagai masalah hukum khususnya mengenai penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3. Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima permohonan pengujian undang-undang (judicial review) terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 UUNo. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UUNo. 20 Tahun 2001, melalui Putusan No. 25/PUU-XIV/2016. Dalam putusan itu,MKmenyatakan bahwa frase “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 bertentangan dengan UUD1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Menjadi permasalahan hukum apakah adanya Putusan MKNo. 25/PUUXIV/ 2016 akan menjadi solusi atas permasalahan penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang ada ataukah sebaliknya akan menimbulkan permasalahan hukum baru?,” Secara historis, ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor ditujukan kepada subjek yang merupakan seorang pegawai negeri atau pejabat publik yang memiliki kekuasaan, meskipun dalam UU Tipikor dan perubahannya, tidak secara tegas menyatakan demikian.
Hal ini sebagaimana diungkapkan Oemar Seno Adji, saat menjadi wakil Pemerintah dalam pembahasan dengan DPRyangmenyatakan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf a dan b UU No. 3 Tahun 1971 harus ditujukan kepada pengawai negeri sipil atau kedudukan istimewa yang dimiliki seseorang di dalam jabatan publik sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 1 UU No. 3 Tahun 1971.
PEMAHAMAN TENTANG PASAL 2 DAN 3 UU TIPIKOR YANG MASIH KELIRU
Para penegak hukum, termasuk Mahkamah Agung (MA) masih keliru memahami Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Mereka lebih menekankan pada usur kerugian Negara daripada unsur memperkaya diri sendiri. Seharusnya, cara pembuktiannya terbalik: membuktikan unsur perbuatan memperkaya diri sendiri terlebih dahulu, baru membuktikan unsur kerugian Negara. Kesalahpahaman tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum.
Banyak pihak yang terjebak pada unsur “secara melawan hukum”, “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, padahal sejak awal pembentukan sampai sekarang, korupsi diartikan sebagai tindakan memperkaya diri sendiri yang dilakukan dengan cara melawan hukum dan merugikan keuangan Negara. Tindakan yang dilarang bukanlah merugikan keuangan negara ataupun melawan hukum, melainkan memperkaya diri sendiri. Unsur “merugikan keuangan negara” dan “melawan hukum”, hanya sebatas sarana atau cara bagi pelaku untuk melakukan tindakan korupsi.
UNSUR PERBUATAN MEMPERKAYA DIRI SENDIRI/KORPORASI
“Dalam memaknai tindak pidana korupsi seharusnya memperhatikan unsur perbuatan memperkaya diri sendiri/korporasi terlebih dahulu, baru kemudian melihat adakah unsur perbuatan melawan hukum. Kesalahpahaman memaknai Pasal 2 dan 3 tersebut menciptakan ketidakpastian hukum. Akhibatnya, banyak pejabat ataupun direktur BUMN takut menjalankan kebijakan. Pemahaman Pasal 2 dan 3 ini perlu diluruskan. Contoh, putusan MA nomor 69 K/Pid.Sus/2013 menyatakan bahwa karena tidak adanya audit BPK atau BPKP maka Jaksa tidak dapat membuktikan adanya kerugian keuangan negara. Pertimbangan tersebut memberi kesan bahwa audit BPK atau BPKP mutlak diperlukan untuk mengetahui kerugian keuangan negara. Padahal itu sebagai akibat bukan sebagai inti delik. Pergeseran makna juga terjadi pada uang pengganti yang dimaknai sebagai mengganti kerugian negara yang timbul. Seharusnya uang pengganti yang dibayar terdakwa hanya sebatas yang didapat oleh terdakwa ketika melakukan korupsi.Top of Form
PASAL 2 DAN PASAL 3 UU TIPIKOR ANCAMAN HUKUMAN TERMASUK YANG DIPERDEBATKAN.
Dari tiga puluhan jenis tindak pidana korupsi yang disebut dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, Pasal 2 dan Pasal 3 termasuk yang banyak memantik diskusi, bahkan pengujian di Mahkamah Konstitusi. Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
Lebih lanjut, Pasal 3 UU Tipikor menyebutkan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.
Tetapi dalam praktik seringkali muncul kebingungan mana yang harus dipakai, pasal 2 atau pasal 3 UU Tipikor. Dua pasal dalam UU Tipikor tersebut sudah efektif untuk menjerat pelaku korupsi. Bunyi pasal sangat luas, dan perbuatan melawan hukum juga sangat luas. Pasal itu sangat luas, melawan itu sangat luas. Jadi, perbuatan terdakwa yang melanggar aturan tertulis apapun sepanjang dia memperkaya dri sendiri atau orang lain atau korporasi dan menimbulkan kerugian keuangan megara, dia bisa dijerat dengan pasal itu. Pada dasarnya, dua pasal tersebut sama-sama menjerat pelaku tindak pidana korupsi. Perbedaannya, dalam Pasal 3, pelaku bisa dijerat jika mempunyai kewenangan, sedangkan Pasal 2, setiap orang yang dimaksud dalam pasal lebih luas dan umum.
Unsur setiap orang adalah yang mempunyai kewenangan. Jadi perbuatan seseorang bisa saja bersifat melawan hukum, tapi belum tentu menyalahgunakan kewenangan. Jadi syarat untuk orang bisa dikenakan di dalam pasal 3 adalah dia harus punya kewenangan dulu, kedudukan, jabatan, jadi jabatan itu memberikan kewenangan dan kewenangan itu disalahgunakan.
Tak ada yang salah dalam perumusan normanya, kecuali ada masalah ancaman pidana dalam pasal 3. Pasal 3 merumuskan penyalahgunaan wewenang, tetapi ancaman minimum lebih rendah daripada perbuatan melawan hukum. Jika pasal 2 ayat (1) ancaman pidana penjara maksimumnya 20 tahun dan minimum empat tahun, sementara pasal 3 ancaman pidananya , dan maksimum 20 tahun, minimumnya hanya 1 tahun.
Seharusnya ancaman pidana yang dirumuskan untuk Pasal 3 lebih tinggi dari Pasal 2 UU Tipikor. Hal tersebut dikarenakan perbuatan korupsi yang dilakukan dalam Pasal 3 haruslah memiliki kewenangan terlebih dahulu, dan ada penyalahgunaan wewenang sehingga tindakan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau koorporasi tersebut merugikan negara.
Jika melihat putusan-putusan hakim dalam memutus perkara tindak pidana korupsi, terutama pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Penjelasan Pasal 2 UU Tipikor, belum ada kesamaan persepsi di antara hakim tentang kapan suatu perbuatan melawan hukum tersebut akan dikenakan Pasal 2 ayat (1), dan kapan pula akan dikenakan Pasal 3.
Sebenarnya sudah ada pendirian Mahkamah Agung dalam beberapa putusan, dan disinggung antara lain dalam putusan No. 1038 K/Pid.Sus/2015. MA berpendirian kerugian negara di atas 100 juta akan dikenakan Pasal 2 UU Tipikor. Kalau penuntut umum menggunakan dakwaan alternatif, Pasal 2 atau Pasal 2, maka yang lebih tepat menurut hakim perkara ini, adalah Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Putusan perkara ini tentang seorang pegawai Dinas Kebersihan Kota Medan.
Sehubungan dengan perbedaan pandangan di kalangan aparat hukum, saat ini sedang dilakukan kajian tentang Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.Sebenarnya tidak ada masalah dalam konteks penyalahgunaan wewenang, tetapi isu dari Pasal 2 dan Pasal 3 itu adalah soal bagaimana merumuskan ulang dan menunjukkan ada mens rea atau niat jahat dalam kedua pasal tersebut.
DI DALAM PASAL 2 DAN PASAL 3 UU TIPIKOR ITU TIDAK TERGAMBARKAN SOAL UNSUR MENS REA
Di Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor itu tidak tergambarkan soal unsur mens rea, yaitu unsur melawan hukum tadi, apakah unsur melawan hukum, apakah dia sengaja, apakah dia lalai, memang tidak terlihat. Sehingga perlu dirumuskan ulang untuk mempertegas ada mensrea atau tidak. Sehingga, UU Tipikor penting untuk dilakukan revisi terutama Pasal 2 dan Pasal 3. Unsur niat jahat dan memperkaya diri sendiri harus dipertegas. Banyak kasus yang ketika dikaji sebenarnya bukan korupsi karena tidak ada niat jahat untuk korupsi. Namun ada prosedur administratif yang diabaikan, atau ada unsur-unsur di luar niat jahat terdakwa itu dianggap sebagai unsur. “Makanya perlu direvisi pasal itu untuk mempertegas apa niat jahat korupsi. Yang kedua itu deliknya, delik pasal 2 dan 3 itu memperkaya diri sendiri dan orang lain secara melawan hukum.