Jakarta, IN – Hingga saat ini, pemasangan pagar laut di wilayah perairan Indonesia masih menjadi tanda tanya besar. Tidak hanya prosesnya yang tidak transparan, tetapi juga tidak jelas siapa sebenarnya pihak yang bertanggung jawab atas proyek tersebut. Keadaan ini menimbulkan keprihatinan publik, mengingat dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi yang mungkin timbul dari pembangunan pagar laut tanpa perencanaan yang matang dan partisipasi publik. Sabtu, 01/02/2025.

Pemasangan pagar laut, yang seharusnya bertujuan untuk melindungi wilayah pesisir dari abrasi atau aktivitas ilegal, justru menuai kritik karena dianggap mengabaikan hak masyarakat pesisir dan merusak ekosistem laut. Nelayan tradisional melaporkan terganggunya aktivitas penangkapan ikan, sementara masyarakat pesisir khawatir akan dampak jangka panjang terhadap lingkungan mereka.

Yang lebih memprihatinkan adalah sikap abai pemerintah dalam mengawasi dan menyelidiki proyek ilegal ini. Tidak ada informasi resmi yang jelas mengenai pelaksana proyek, anggaran yang digunakan, serta dampak lingkungan yang telah dikaji. Publik pun dibiarkan dalam kegelapan, tanpa kejelasan apakah proyek ini dilakukan oleh pihak swasta, pemerintah, atau bahkan aktor-aktor yang tidak bertanggung jawab.

JNIB mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah berikut:

1. *Transparansi Informasi*: Pemerintah harus segera mengungkapkan identitas Pelaksana proyek, tujuan pemasangan pagar laut, serta dokumen-dokumen terkait seperti analisis dampak lingkungan (AMDAL) dan anggaran yang digunakan.

2. *Penegakan Hukum*: Segera menetapkan Tersangka Pemasangan Pagar Laut, menindak tegas pihak-pihak yang bertanggung jawab dan membuktikan Negara tidak takut berhadapan dengan Pemilik Modal yang berani mengkapling Laut yang merupakan Wilayah Kedaulatan Negara.

3. *Audit Independen*: Perlu dilakukan audit independen untuk memastikan bahwa proyek ini tidak melanggar hukum, merugikan masyarakat, atau merusak lingkungan.

4. *Partisipasi Publik*: Masyarakat, terutama yang terdampak langsung, harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan pemantauan proyek. Suara mereka harus didengar dan dipertimbangkan.

Kami percaya bahwa laut adalah warisan bersama yang harus dijaga untuk generasi mendatang. Abainya negara dalam mengawasi proyek semacam ini tidak hanya merugikan masyarakat saat ini, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekosistem laut di masa depan.

Kami mendesak semua pihak untuk bersama-sama mengawal isu ini dan mendorong pemerintah agar lebih serius dalam melindungi hak-hak masyarakat pesisir dan lingkungan laut Indonesia dan menjaga Kedaulatan Negara dari pembegalan wilayah oleh segelintir Pemilik Modal

Nachung Tajudin
Ketua Jembatan Nasional Indonesia Baru (JNIB)

_jnib.nasional1@gmail.com

OKU, IN – Sejumlah aktivis terus menyuarakan pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) PT Prima Lazuardi Nusantara yang beroperasi di wilayah Kabupaten OKU. Sebab, selain kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, perusahaan itu diketahui bertahun-tahun tidak beroperasi. Sementara lokasi galian dibiarkan terbengkalai.

Pembiaran tersebut yang dikhawatirkan dapat merusak lingkungan. Pantauan di lokasi, tambang perusahaan tersebut berada di Desa Terusan dan Desa Batu Kuning, Kecamatan Baturaja Timur. Akses masuk menuju lokasi tambang tersebut harus melalui jalan tanah dan berlumpur.

Saat tiba di lokasi, tampak areal tambang sudah dikupas sebagian. Beberapa bahkan menyisakan kolam void yang sudah terisi air. Areal tambang yang berbatasan dengan pemukiman juga ditutupi dengan seng.

Menurut keterangan sejumlah warga, lokasi tambang itu sudah terbengkalai beberapa tahun terakhir.

“Saya sudah tinggal di sini lima tahun. Tapi belum pernah melihat aktivitas di tambang itu. Kalau informasinya, sebelum saya tinggal di sini memang sudah tidak ada kegiatan lagi disana,” kata Neneng, warga yang tinggal di dekat seng perbatasan tambang.

Neneng mengatakan, beberapa kali informasinya perusahaan mau menutup lubang galian di areal itu. Namun, sampai sekarang tidak ada progres berarti dari rencana tersebut. “Katanya memang mau ditutup (lubang void). Tetapi, sampai sekarang tidak ada realisasi,” ucapnya.

Walaupun sejauh ini tidak ada dampak dari keberadaan lubang galian itu, namun Neneng khawatir jika nantinya akan terjadi longsor atau dampak lingkungan lain yang bisa mengancam keselamatan warga.

“Kalau sejauh ini belum ada dampaknya. Tapi kita tidak tahu kedepannya,” terangnya.

Aktivis Heran IUP Prima Lazuardi Nusantara Belum Dicabut

Sejumlah aktivis mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menegakkan good mining practice dalam usaha pertambangan di Indonesia, khususnya Sumsel. Sebab, masih banyak tambang seperti Prima Lazuardi Nusantara yang tidak beroperasi namun izinnya tak dicabut.

Ketua Himpunan Pemuda Intelektual (HIPI) Kabupaten OKU, Zaidan Jauhari mengatakan, dirinya cukup terkejut mengenai pernyataan pejabat Dinas Lingkungan Hidup (DLH) OKU yang menyebut jika Prima Lazuardi Nusantara sudah lama vakum atau tidak beraktifitas selama beberapa tahun.

“Kita juga heran kalau selama ini tidak ada aktifitas. Seharusnya kan izinnya dicabut saja. Sehingga, lahan galian di areal tambang bisa direklamasi,” kata Zaidan saat dibincangi, Selasa (30/1/2024).

Dia mengatakan, pencabutan IUP seharusnya sudah bisa dilakukan. Terlebih, sudah lima tahun terakhir tambang tidak beroperasi. “Harusnya segera dievaluasi. Kalau memang perusahaan tidak mampu untuk menjalankan aktifitas penambangan, lebih baik dilelang ke perusahaan lain untuk diurus,” katanya.

Permasalahannya, kata Zaidan, kegiatan penambangan di areal IUP sudah kadung dilakukan. Sehingga jika dibiarkan terlalu lama, bisa berdampak terhadap kerusakan lingkungan. Dia mencontohkan, kondisi infrastruktur pengelolaan limbah seperti kolam IPAL. Jika dibiarkan terlalu lama, maka limbah yang ditimbulkan dari areal tambang tidak bisa tersaring dan langsung masuk ke sungai.

“Nah, hal seperti inilah yang harusnya diperhatikan. Kalau memang tidak lagi beraktifitas, segera lakukan reklamasi. jangan dibiarkan terlalu lama hingga akhirnya merusak lingkungan,” ucapnya.

Zaidan meminta agar pemerintah bisa bertindak tegas dengan mencabut izin perusahaan tersebut. “Kalau memang tidak ada tindak lanjut dari pemerintah, kami akan segera menggelar aksi,” tegasnya.

Senada, Direktur Suara Informasi Rakyat Sriwijaya (SIRA), Rahmat Sandi mendesak pemerintah segera melakukan evaluasi terhadap izin-izin tambang di Sumsel yang tidak melakukan kegiatan eksplorasi. Dia menuturkan, tambang-tambang yang vakum tersebut menghilangkan potensi pendapatan negara dari pajak, royalti maupun pendapatan negara bukan pajak (PNBP).

“Buat apa memberikan izin kepada investor yang tidak serius. Lebih baik izinnya dicabut saja. Selanjutnya dilelang untuk dikelola perusahaan yang lebih baik. Baik yang dimaksud ini dari sisi keuangan maupun komitmennya untuk menciptakan good mining practice,” terangnya.

Sementara itu, KTT PT Prima Lazuardi Nusantara, Bresli saat dihubungi wartawan belum memberikan jawaban terkait persoalan tersebut.

PT Prima Lazuardi Nusantara merupakan perusahaan tambang yang memiliki IUP 89/K/P-IUP/XXVII/2014. Luas areal operasi perusahaan ini seluas 3.710 hektare. Dalam penelusuran di https://modi.esdm.go.id/, perusahaan ini dimiliki oleh Lion Power Energy dengan kepemilikan saham sebesar 99,9 persen dan Kokos Leo Lim sebesar 0,01 persen.

Perusahaan ini dipimpin Direktur, Ivan Wiratiana dan Komisaris Andrey Permana. Kokos Leo Lim alias Kokos Jiang sendiri merupakan koruptor yang merugikan negara sebesar Rp 477 miliar. Kokos melakukan serangkaian perbuatan yaitu tidak melakukan desk study dan kajian teknis, melakukan pengikatan kerja sama jual-beli batu bara yang masih berupa cadangan serta membuat kerja sama tidak sesuai spesifikasi batu bara yang ditawarkan.

Selain track record pemilik perusahaan yang pernah melakukan korupsi sektor pertambangan, operasional perusahaan itu sendiri pernah mendapat sanksi administratif dari DLHP Provinsi Sumsel. Surat keputusan penerapan sanksi administratif paksaan tersebut bernomor 0687/KPTS/DLHP/B.IV/2021 yang dikeluarkan November 2021.

Dalam sanksi disebutkan, Prima Lazuardi Nusantara tidak melakukan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana tercantum dalam dokumen lingkungan hidup AMDAL (ANDAL,RKL/RPL,Matrik). Perusahaan juga tidak melakukan perubahan dokumen lingkungan sesuai dengan penambahan kapasitas produksi, perluasan lahan dan/atau kegiatan, terjadinya perubahan kebijakan pemerintah yang ditujukan dalam rangka peningkatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan terjadi perubahan dampak dan/atau resiko terhadap lengkungan hidup berdasarkan hasil kajian analisis resiko lingkungan hidup.

Tidak melakukan perencanaan penambangan good mining practice sehingga terhadi penambangan diluar IUP yang dilakukan entitas lain dengan total seluas 9,78 hektar.

Perusahaan juga tidak melakukan pengelolaan pengendalian pencemaran air berupa IPAL Domestik yang tidak memiliki izin, tidak memiliki flowchart neraca air di area bekas tambang pada pit aktif, dimana catchment area dialirkan ke beberapa areal bekas tambang tersebut. Tidak ada kegiatan pengukuran kualitas air limbah domestik pada Semester 1 Tahun 2021, tidak melakukan pemantauan debit harian dan debit rata-rata bulanan.

Tidak melakukan pengukuran beban pencemaran air limbah yang wajib memenuhi baku mutu pada setiap parameter air limbah domestik dan melaporkannya pada aplikasi SIMPEL. Tidak melakukan pemantauan parameter pH dan debit air harian limbah domestik serta air permukaan di Hulu dan Hilir Sungai Air Kurup 3.

Tidak membuat saluran air limbah yang kedap air, mengukur debit harian dan PH Ai untuk air limbah proses KPL, air limbah domestik serta menghitung beban pencemaran.

Perusahaan juga tidak melakukan pengendalian pencemaran udara seperti tidak melakukan pemantauan dengan parameter HC dan dustfall, pemantauan udara emisi cerobong genset dab belum membuat serta melaporkan hasil pemantauan sumber emisi kepada DLH OKU, DLHP Sumsel dan KLHK melalui Aplikasi SIMPEL.

Perusahaan tidak melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun seperti tidak melakukan penyimpanan B3 pada gudang penyimpanan bahan di areal workshop, gudang tidak dilengkapi APAR, pengemasan bahan kimia tidak sesuai dengan fase serta karakteristik jenis B3 serta kemasan B3 tidak dilengkapi dengan simbol dan label.

Selain itu, perusahaan tidak melakukan pengendalian kerusakan lingkungan berupa pembersihan pada lahan yang terjadi indikasi erosi berupa alur dan parit sedimentasi, meninggalkan setiap tahapan pengupasan tanah pucuk terlalu lama, meninggalkan setiap tahapan pengupasan batuan penutup terlalu lama, penambangan dan penimbunan yang tidak berkesinambungan sehingga hampir seluruh KPL mengalami pendangkalan.

Sanksi itu juga yang membuat perusahaan mendapatkan predikat Proper Merah dari KLHK di tahun 2022. (tim)

PALEMBANG, IN – Rencana aktivis lingkungan Kawali Sumsel menggugat sindikat korporasi PT Musi Prima Coal (PT MPC), PT Lematang Coal Lestari (PT LCL) dan Pembangkit Listrik PT GHEMMI mendapat dukungan dari berbagai elemen masyarakat.

Khususnya yang terdampak dari aktivitas korporasi perusak lingkungan tersebut. Hal ini diungkapkan oleh Junizar yang merupakan koordinator aksi saat ratusan warga Muara Enim, Pali dan Prabumulih melakukan demonstrasi di halaman PT GHEMMI beberapa waktu lalu,

Menurutnya, dampak dari aktivitas yang telah dilakukan PT MPC sangat merugikan masyarakat, sebab terjadi abrasi di sepanjang Sungai Lematang akibat dibangunnya pelabuhan tanpa AMDAL. Bahkan belakangan pelabuhan ini diketahui berada di luar IUP PT MPC yang merupakan sebuah pelanggaran yang harus mendapat sanksi tegas.

Tidak hanya abrasi, Junizar juga menjelaskan jika saat ini ekosistem di Sungai Lematang sudah sangat rusak akibat ulah perusahaan tambang ini, yang kemudian menyebabkan nelayan setempat kehilangan mata pencaharian.

“Sungai lematang ini merupakan sumber kehidupan sehari – hari masyarakat. Kalau sungai sudah tercemar maka akan berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat, dan ekosistem yang ada. Oleh sebab itu kami mendukung langkah rekan kami Kawali Sumsel,” katanya.

Berkaitan dengan aksi massa yang digelar warga tiga Kabupaten sebelumnya, Junizar mengaku sampai saat ini belum ada tindak lanjut yang jelas dari PT MPC dan sindikasinya, sehingga sesuai dengan apa yang disampaikan pada saat aksi 7 Juni lalu, pihaknya akan menggelar kembali aksi dengan jumlah massa yang lebih besar.

Dukungan terhadap langkah Kawali Sumsel ini juga disuarakan oleh Ketua umum DPP LSM Gerakan Masyarakat Suka Lingkungan Hijau (Gemasulih) Muara Enim, Andi Chandra. Pihaknya menilai gugatan class action ini merangkum kerugian dan dampak kerusakan lingkungan yang dialami oleh warga di dua Kabupaten yakni Muara Enim, Pali dan kota Prabumulih.

Seakan belum cukup, Andi Chandra juga mendorong agar Kawali Sumsel bisa membuat Musi Prima Coal dan sindikasinya angkat kaki dari Sumsel. “Jika hal ini menyangkut aktivitas manusia yang sudah semena-mena merusak lingkungan dan alam, semua aktivitas pertambangan harus ada kajian dampak nya seperti apa, kalau cenderung merugikan untuk apa dipertahankan, suruh angkat kaki,” tegasnya.

Poin pentingnya, lanjut Andi adalah memperjuangkan keberlangsungan lingkungan hidup dan masyarakat, sehingga gugatan ini dianggapnya sebagai bukti keseriusan aktivis lingkungan untuk melestarikan alam.

“Langkah yang diambil Kawali untuk meningkatkan permasalahan ini ke arah yang lebih serius, adalah keputusan yang tepat, kami sangat mendukung. Apalagi beberapa waktu lalu, perusahaan sudah divonis karena merubah alur Sungai Penimur, tapi dendanya belum setimpal. Karena yang terpenting adalah itikad baik perusahaan untuk mengembalikan alur sungai seperti sedia kala, karena alur sungai ini selalu berkaitan dengan banyak ekosistem yang ada dan pihaknya mendukung langkah tersebut,” jelasnya.

Menanggapi gugatan yang akan diajukan oleh Kawali Sumsel ini, pengamat hukum dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang Sri Sulastri SH Mhum menilai peran masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat seperti Kawali penting dalam mengawasi aktivitas pertambangan yang serampangan seperti yang dilakukan oleh sindikasi perusahaan ini.

Sebab selama ini pemerintah terkesan tidak punya gigi melawan korporasi yang secara nyata sudah merusak lingkungan dan merugikan masyarakat. “Class Action ini diperlukan untuk menyelamatkan lingkungan. Langkah ini sudah tepat karena ini juga sebagai bentuk peran dari masyarakat,” ungkap Sri.

Berbicara soal pengawasan, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Sumsel Hasbi Asadiki menyerahkan sepenuhnya gugatan ini untuk dilakukan oleh Kawali Sumsel karena selain memang sebagai hak warga negara, gugatan ini menurutnya diharapkan dapat mengakomodir permasalahan yang dialami dan dirasakan dampaknya oleh masyarakat.

“Ini (class action) sebagai bentuk pengawasan dan hak rakyat untuk mengajukannya (ke PTUN). Kita harapkan yang terbaik,” ujarnya. (ril)