Jakarta, IN – Activist Democracy Activist Forum Tanah Air (FTA) USA & Global Anggota City Council 2002 & 2008, Chris Komari menjawab pernyataan penasehat ahli Kapolri Prof. Hermawan Sulistyo, yang menolak pembubaran Mabes Polri dan jabatan Kapolri.
Dikatakan Chris, menempatkan Polri dibawah Presiden, jelas melanggar prinsip demokrasi on separation of power karena posisi itu sekaligus memberikan Presiden dual powers (2 kekuasaan).
“EXECUTIVE POWER, sebagai the head of executive branch of government dan JUDICATIVE POWER, lewat tangan kanan Kapolri dan jajaran Polri dan itu jelas melanggar prinsip demokrasi on SEPARATION OF POWER,” jelas Chris.
“Ini yang harus disadari oleh semua elemen masyarakat di Indonesia, khususnya anggota DPR dan POLRI sendiri,” imbuh Chris.
Chris justru mempertanyakan apakah Prof. Hermawan Sulistyo, sebagai penasehat ahli Kapolri tidak melihat itu.
Dalam pandanganya, Chris menilai Kepolisian di Indonesia cukup dengan POLDA, POLRES dan POLSEK di tingkat Provinsi, Kota/kabupaten.
“Tidak perlu ada POLISI ditingkat pusat, apalagi dibawah Presiden. Itu jelas melanggar prinsip demokrasi on SEPARATION OF POWER,” tukas Cris.
“Hilangkan jabatan KAPOLRI dan hilangkan MABES POLRI. Cukup CHIEF OF POLICE (Komandan POLISI) ditingkat POLDA dan POLSEK dan POLRES,” sambung Cris.
“Ditambah satu jabatan Komisioner Polisi yang dipilih langsung oleh Rakyat, untuk mengawasi kerja POLDA, POLRES dan POLSEK,” ucap Chris lagi.
Chris-pun memaparkan simulasi anggaran operational yang dapat dilakukan oleh pemerintah.
“Budget dan biaya operational POLDA dimasukan didalam APBD Propinsi, yg ditentukan oleh Gubernur dan DPRD Propinsi. Lalu budget dan biaya operational POLRES dan POLSEK dimasukan didalam APBD Kabupaten, yang ditentukan oleh walikota/bupati dengan persetujuan DPRD Kabupaten,” ulas Chris.
Masih menurut Chris, budget dan biaya operational TNI dibiayai langsung oleh APBN pusat, dengan persetujuan DPR-RI dan TNI dan POLRI dilarang menerima dana hibah berupa uang, bangunan rumah prajurit, biaya operational, pinjaman pesawat atau dari siapapun dan dari manapun, baik swasta, corporation, dari dalam maupun dari luar negeri, karena itu menciptakan “CONFLICT OF INTEREST” dan mengurangi wibawa TNI dan POLRI.
“Semua hibah kepada TNI dan POLRI harus lewat pemerintah EXECUTIVE dan harus disetujui oleh DPR-RI. Kecuali dalam kondisi emergency dan perang,” tandas Chris.
Meskipun begitu, lanjut Cris, secepatnya ketika waktu memungkinkan untuk segera memberi tahu pemerintah Executife dan Legislatife, the nature dan the urgency menerima bantuan hibah atau bantuan dari non-pemerintah.
“TNI dan POLRI dilarang dan tidak boleh mempekerjakan orang sipil, seperti Taipan, pengusaha real estate, pengusaha kelapa sawit, pemilik bank atau konglomerat lainya secara langsung dan duduk dijajaran pimpinan TNI dan POLRI sebagai “penasehat,” pungkas Cris seraya menyebut tindakan itu selain penuh conflict of interest, juga merusak marwah dan wibawa TNI dan POLRI.
“Semua kebutuhan biaya operational anggota POLISI dan prajurit TNI, harus diajukan kepada pemerintah Executive dengan persetujuan DPR-RI lewat APBN dan APBD. Yang perlu di BONGKAR, di REFORMASI dan di OVERHAUL bukan Hibahnya POLRI, tetapi juga “DPR” karena sudah sama-sama busuknya,” tegas Chris.
Lebih jauh Cris memaparkan, reformasi dan di overhaul bagi POLRI dan DPR harus dilakukan.
“POLRI dipisahkan dari PRESIDEN dan dipecah-pecah (decentralized), hapus jabatan KAPOLRI, hapus MABES POLRI, cukup POLDA, POLRES dan POLSEK ditingkat Propinsi, Kota dan Kabupaten. Lalu dibentuk semacam Federal Bureau of Investigation (FBI) diluar POLRI yg berisi para tenaga ahli dalam dunia scientific high crimes investigations, untuk membantu POLRI dan TNI bila dibutuhkan dan pisahkan semua MPR, DPR, DPD dan DPRD dari “IKATAN” partai politik dengan UUD 1945 atau UU tersendiri,” urai Cris seraya menerangkan anggota Legislative (MPR, DPR, DPD dan DPRD) adalah wakil-wakil rakyat, bukan wakil-wakil dari institusi, department atau lembaga lainya, seperti PARTAI POLITIK.
Chris pun menyoroti keberadaan KOMISI III DPR-RI” yang berdiam diri dengan kasus rekayasa pembunuhan Brigadir J (Joshua), yang melibatkan begitu banyak anggota POLISI di MABES POLRI, POLDA dan POLRES mulai dari Perwira Tinggi, Perwira Menengah, Komisaris POLISI, Perwira Pertama, Bintara dan Tamtama.
“That’s crazy. Busuknya sudah parah, bukan hanya banyak petinggi POLRI yang busuk, tetapi juga para anggota KOMISI DPR-RI, karena mereka dari fraksi partai politik yang mementingkan kepentingan partai politik. DPR sebagai lembaga LEGISLATIVE perlu major VERHAUL, untuk bisa berfungsi dengan baik dan benar sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi,” ucap Chris tegas.
“Jangan biarkan kaki, tangan dan mulut anggota DPR diikat dan ditutup mulutnya dengan envelope tebal, dengan ancaman mutasi dan dengan ancaman P.A.W (Pergantian Antar Waktu) yg ada di UU MD3 dari petinggi partai politik,” tutur Chris karena menurutnya bila ingin demokrasi berjalan dan berfungsi dengan baik di Indonesia, kuncinya hanya satu yaitu pisahkan semua anggota PARLEMEN (MPR, DPR, DPD dan DPRD) dari ikatan partai politik dengan UUD 1945 atau UU tersendiri.
“Ini bukan PILIHAN tetapi sesuatu yang WAJIB dilakukan,” ucap Chris.
Diungkapkan Chris, keberadaan partai politik dalam satu negara demokrasi tidak boleh memiliki kekuasaan dan kedaulatan lebih tinggi dari kedaulatan rakyat Indonesia, karena itu kekuasaan partai politik harus dibatasi dengan UU tersendiri.
“Anggota DPR sebagai wakil rakyat, memiliki tugas dan tanggung-jawab “OVERSIGHT” terhadap lembaga dan institusi lain dipemerintahan, karena itu anggota Legislative (MPR, DPR, DPD dan DPRD) tidak boleh diikat oleh siapapun dan bila anggota DPR diikat dan dikontrol oleh para LOBBYIST, seperti Presiden sendiri, anggota Kabinet Menteri, PENG-PENG, oligarchs pengusaha, Boss Mafia atau oleh petinggi partai politik, maka demokrasi dinegara itu akan “MAMPUS”, berubah menjadi demokrasi lontong sayur,” pungkas Chris mengakhiri. (***)