Muara Enim, IN – Pemprov Sumsel meminta semua pihak yang bermain dalam kasus pelanggaran izin PT RMK Energy (RMKE) bertanggung jawab.
Hal ini terungkap dalam rapat yang digelar khusus untuk membahas permasalahan perusahaan yang beroperasi di wilayah Kecamatan Muara Belida Kabupaten Muara Enim itu pada Kamis (12/10).
Menurut informasi yang diterima, rapat yang dipimpin oleh Sekda Provinsi Sumsel, SA Supriono itu berjalan dengan alot. Sekda disebut geram dengan ulah oknum yang bermain dalam pemberian izin operasi yang menabrak Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Muara Enim dan Provinsi Sumsel tersebut.
Raut kesal di wajahnya terlihat saat diwawancara awak media. “Langsung ke (Dinas) PU saja,” singkat Sekda.
Tidak hanya menabrak Perda No.13 tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Muara Enim tahun 2018-2038, operasional RMKE juga menabrak Perda No.11 tahun 2016 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Selatan tahun 2016-2036.
Hal ini diungkapkan oleh Kepala Dinas PUBM-TR Sumsel, Affandi yang menyebut pihaknya hanya menampilkan dan menyesuaikan Perda tersebut dalam rapat. Dia pun enggan berkomentar lebih jauh. “Langsung sama (Pemkab) Muara Enim saja,” ujarnya.
Pernyataan dua pejabat provinsi Sumsel ini dinilai Deputi K-MAKI Sumsel Feri Kurniawan sebagai penegasan yang menyiratkan sudah terjadi kongkalikong antara RMKE dengan Pemkab Muara Enim.
“Jelas ada main, sehingga bisa beroperasi dengan menabrak aturan. Pemprov Sumsel harus segera mengambil langkah tegas soal ini, cabut izin perusahaan ini,” ungkap Feri.
Tak sebatas itu, Feri juga menyebut dugaan kongkalikong ini sudah layak diusut oleh Aparat Penegak Hukum (APH). Mulai dari instansi terkait yang membidangi, seperti Dinas LHP Sumsel, Dinas ESDM Sumsel, juga Dinas Perizinan Muara Enim, Dinas LH Muara Enim, Dinas PU Muara Enim, sampai Pj Bupati Muara Enim juga harus ikut diusut tuntas.
“Mereka yang bermain disini sudah menjual daerahnya untuk kepentingan sesaat. Ini seharusnya jadi pintu masuk bagi APH untuk mencari dan menghukum siapa saja yang terlibat,” jelas Feri didampingi Kordinator Boni Belitong.
Kasus pelanggaran izin operasional perusahaan yang menabrak RTRW ini mencuat seiring penyetopan aktifitas RMKE oleh Kementerian LHK atas pelanggaran lingkungan yang mereka lakukan. Lantas, Gubernur Sumsel Herman Deru saat itu membentuk tim yang beranggotakan pejabat dari Provinsi Sumsel dan Kabupaten Muara Enim untuk melakukan evaluasi.
Hasilnya didapati izin perusahaan itu melanggar ketentuan, namun masih tetap beroperasi sehingga disinyalir terjadi kongkalikong antara RMKE dengan oknum tertentu.
Seperti yang telah diulas sebelumnya, terkait perizinan, perusahaan ini diketahui telah beroperasi secara ilegal karena tidak memiliki izin usaha pemurnian batubara yang dikeluarkan oleh instansi berwenang, yakni Kementerian Perindustrian.
PT RMK Energy merupakan pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus Pengolahan dan Pemurnian (IUP OP KPP) Batubara berdasarkan keputusan Kepala DPMPTSP Provinsi Sumsel bernomor 0757/DPMPTSP.V/XI/2019 dengan masa berlaku sampai 15 Februari 2043.
Namun sejak berlakunya UU No.3 tahun 2020 tentang Perubahan atas UU NO.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, pasal 169 huruf e, IUP OP Khusus Pengolahan dan Pemurnian barus berubah menjadi Izin Usaha Industri dan menjadi kewenangan Kementerian Perindustrian sejak UU ini berlaku.
Sayangnya, PT RMK Energy diketahui belum melakukan penyesuaian izin itu sampai hari ini. Itu artinya, sejak tahun 2020 sampai sekarang operasional PT RMK Energy dinilai ilegal.
Lalu mengenai izin lingkungan yang sempat diulas sebelumnya oleh Kantor Berita RMOLSumsel, dalam salinan hasil evaluasi itupun diketahui kalau IUP dan Izin Lingkungan/Persetujuan Lingkungan PT RMK Energy tidak sesuai dengan Perda Tata Ruang Kabupaten Muara Enim No.13 tahun 2018.
Evaluasi yang dilakukan oleh tim bentukan Gubernur Herman Deru yang ditandatangani oleh sejumlah Kepala Dinas terkait di Pemprov Sumsel dan Pemkab Muara Enim itu juga diketahui IUPnya belum mengacu pada UU No.11 tahun 2021 tentang Ciptaker paragraf 3, UU No.32 tahun 2009 tentang PPLH dan Peraturan Perundang-undangan No.22 tahun 2022 tentang PPPLH, dan PP No. 5 tahun 2021 tentang Perizinan Pertambangan Batubara Beresiko. (***)